Tahukah Mama bahwa kanker serviks dan kanker payudara adalah dua penyakit yang paling banyak membunuh perempuan di Indonesia? Dua penyakit ini tidak mengenal ras, kelas sosial, kelas ekonomi, apalagi agama. Semua perempuan bisa terkena tanpa pandang bulu, termasuk selebriti seperti Julia Perez dan Yana Zein.
Kabar baiknya adalah kedua jenis kanker ini bisa dideteksi secara dini dan diobati hingga tuntas jika cepat didiagnosis di stadium-stadium awal. Sayangnya, belum semua perempuan mendapat pengetahuan maupun akses untuk deteksi dini ini – baik karena informasi yang tidak merata, keterpencilan geografis, keterbatasan fasilitas atau tenaga medis, maupun kondisi ekonomi.
Nah, lewat artikel ini, saya ingin mengajak Mama berkenalan dengan salah satu metode deteksi dini kanker serviks yang tergolong mudah, praktis, dan dapat diakses perempuan Indonesia hingga di daerah-daerah terpencil, yaitu tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).
Nah lho, benda apa lagi ini? Apa fungsinya? Bagaimana melakukannya? Apa bedanya dengan pap smear? Yang paling penting: mahal atau tidak?
Yuk, Ma, kita belajar sama-sama!
Apa Itu Tes IVA?
Tes IVA adalah singkatan untuk Inspeksi Visual Asam Asetat. Salah satu metode deteksi dini kanker serviks atau kanker mulut rahim ini adalah alternatif yang lebih efektif dan efisien dari pap smear. Seperti namanya, tes IVA mengandalkan kemampuan inspeksi (melihat) dengan mata telanjang teknisi yang mengerjakan dan menggunakan asam asetat (asam cuka) dalam prosesnya.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tes IVA, kita harus berkenalan sedikit dengan kanker serviks itu sendiri.
Secara umum, kanker adalah penyakit di mana terjadi pertumbuhan sel berlebih yang tidak terkendali, di mana sel-sel ini mampu berpindah dan “menginvasi” atau menjadi parasit di bagian-bagian tubuh lain. Salah satu faktor terpenting dari hilangnya kendali ini adalah adanya mutasi pada gen yang mengaturnya.
Kanker serviks terjadi pada sel-sel di mulut rahim. Mengapa mulut rahim? Karena di daerah tersebut terdapat zona khusus di mana sel-selnya secara alami sering berubah sesuai dengan usia maupun pengaruh hormonal seorang perempuan.
Penyebab utama dari kanker serviks adalah paparan atau infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus), yang juga bisa menyebabkan kutil kelamin, kanker anus, atau kanker penis pada pria. Virus HPV ini dikenal dapat memicu mutasi pada sel-sel mulut rahim, terutama tipe 16 dan 18 (tipe onkogenik).
Penularan terbesar virus HPV adalah melalui hubungan seksual. Semakin muda usia seorang perempuan berhubungan seksual pertama kali atau semakin sering ia berganti pasangan, semakin besar risiko penularan.
Kondom dapat menurunkan risiko infeksi namun tidak melindungi 100%. Infeksi HPV biasanya tidak menimbulkan gejala. Sebagian besarnya bahkan bisa hilang sendiri dalam 1-2 tahun.
Namun, sebagian kecil bisa menjadi menahun dan memicu kanker. Karena virus HPV ini mudah sekali berpindah, 80-90% dari semua orang (pria maupun wanita) yang sudah pernah berhubungan seksual, juga sudah pernah mengalami paparan dari setidaknya satu tipe virus HPV selama hidupnya.
Meski hanya sebagian kecil dari mereka yang terpapar ini mengalami mutasi sel-sel ke arah kanker, jumlah tersebut tetap signifikan. Faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya mutasi adalah kebiasaan merokok dan gaya hidup.
Sel-sel mulut rahim yang bermutasi tidak langsung menjadi kanker. Ada yang disebut dengan “lesi prekanker”, di mana sel-sel di permukaan serviks sudah menunjukkan perubahan tidak normal yang jika dibiarkan dapat berubah semakin jauh menjadi kanker. Jika dideteksi dini, sel-sel ini dapat “dibuang” sebelum berubah.
Nah, Ma, sel-sel prekanker inilah yang dideteksi dengan tes IVA.
Bagaimana Prosedur Tes IVA untuk deteksi dini kanker serviks?
Salah satu keunggulan tes IVA adalah tes ini tidak memerlukan laboratorium atau alat khusus.
Yang harus ada hanyalah peralatan kebidanan, larutan asam cuka 3-5% (bisa dibuat dari cuka dapur biasa), dan tenaga medis yang sudah mendapat pelatihan baik bidan maupun dokter.
Semua ini bisa disediakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama di daerah-daerah seperti puskesmas atau klinik pratama.
Jika Mama hendak menjalani tes IVA, disarankan agar Mama tidak berhubungan seksual 24 jam sebelum tes, tidak sedang hamil, dan tidak sedang datang bulan.
Petugas medis yang akan melakukan tes IVA akan mewawancarai Mama untuk mencari faktor risiko kanker dan riwayat penyakit terdahulu serta meminta persetujuan.
Lalu Mama akan diminta untuk buang air kecil, mencuci daerah kelamin, melepas pakaian, dan berbaring di ranjang pemeriksaan khusus seperti jika melakukan pap smear.
Petugas akan memasukkan alat (spekulum) agar dapat melihat serviks Mama dengan jelas.
Setelah dibersihkan dari lendir atau sekret, petugas akan memeriksa keadaan mulut rahim lebih dulu, apakah bisa dilakukan tes IVA atau tidak. Jika sudah terlihat pertumbuhan yang dicurigai kanker, biasanya tes IVA tidak dilakukan dan pasien langsung dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
Tes IVA juga tidak bisa dilakukan jika zona perubahan sel tidak dapat terlihat jelas atau jika serviks dalam keadaan meradang/infeksi.
Jika semua syarat terpenuhi, petugas akan mengolesi permukaan serviks Mama dengan lidi kapas yang dicelupkan dalam larutan asam asetat atau asam cuka. Beberapa fasilitas kesehatan menggunakan larutan asam cuka yang sudah dimasukkan dalam botol semprotan khusus.
Setelah satu menit, serviks akan dilihat kembali. Tes IVA dinyatakan positif apabila terdapat perubahan warna berupa plak putih susu pada permukaan serviks sekitar zona perubahan sel. Perubahan warna ini disebabkan oleh adanya sel-sel prekanker yang bereaksi terhadap asam cuka.
Apa Beda Tes IVA dan Pap Smear?
Pap smear adalah metode deteksi dini kanker serviks dengan cara mengambil sedikit sampel sel dari permukaan serviks, kemudian dokter spesialis patologi anatomi akan memeriksa sel-sel tersebut menggunakan mikroskop di laboratorium. Dari sanalah dapat diketahui apakah ada perubahan abnormal pada sel-sel tersebut atau tidak.
Pap smear membutuhkan alat khusus untuk mengambil dan menjaga sampel tetap segar, laboratorium dengan kompetensi tertentu, dan tenaga dokter spesialis. Hasilnya tidak bisa segera diketahui karena memerlukan proses pemeriksaan dan interpretasi sampel.
Meski pap smear tetap menjadi pemeriksaan standar emas bagi deteksi kanker serviks, tes ini terbentur beberapa kendala untuk perempuan-perempuan yang hidup di daerah terpencil. Tidak banyak fasilitas kesehatan tingkat pertama yang memiliki peralatan untuk mengambil sampel. Jikapun ada, sampel harus dikirim bolak-balik ke laboratorium di pusat daerah yang memiliki fasilitas dan tenaga. Faktor-faktor ini menyebabkan naiknya biaya dan semakin lamanya waktu yang diperlukan.
Tes IVA menjadi alternatif yang baik untuk upaya deteksi dini kanker serviks di daerah-daerah karena prosesnya yang sederhana, mudah, murah, praktis, tidak memerlukan tenaga medis spesialistik atau laboratorium khusus, dan hasilnya dapat segera diketahui.
Tingkat akurasi tes IVA lebih dari 90% apabila dilakukan dengan benar dan oleh tenaga terlatih. Kementerian Kesehatan telah mulai menggalakkan dilakukannya tes IVA di daerah-daerah dengan melakukan sosialisasi/kampanye, program khusus, dan pelatihan-pelatihan tenaga dokter umum serta bidan.
Kapan Sebaiknya Melakukan Tes IVA?
Di Indonesia, tes IVA adalah salah satu pemeriksaan yang dapat diakses dengan tanggungan JKN/BPJS. Berdasarkan prosedur BPJS, setiap perempuan berusia 21 tahun ke atas dianjurkan untuk melakukan tes IVA sekali setahun. Bila hasilnya negatif selama tiga tahun berturut-turut, pemeriksaan dapat dilakukan setiap lima tahun sekali.
Sayangnya, BPJS hanya menanggung tes IVA maupun pap smear bagi perempuan yang sudah menikah. Padahal faktor risiko yang signifikan adalah sudah aktif secara seksual, yang mana secara realistis faktor risiko ini dapat dimiliki oleh perempuan yang belum menikah sekalipun.
Bagaimana Bila Hasil Tes IVA Positif?
Tes IVA positif tidak menunjukkan bahwa sudah terjadi kanker, tapi mendeteksi perubahan abnormal pada sel-sel mulut rahim yang berpotensi menjadi kanker (lesi prekanker) bila tidak diterapi.
Bila hasil tes IVA positif, yang artinya pada serviks sudah terdapat lesi prekanker, petugas medis akan merujuk Mama ke dokter spesialis kandungan atau fasilitas kesehatan tingkat lanjut untuk diterapi.
Biasanya terapi yang dilakukan adalah krioterapi, yaitu “menembak” lesi prekanker dengan gas dingin sehingga “rontok”. Prosedur ini dapat dilakukan dengan cepat, efektif, dan biasanya tidak nyeri.
Deteksi Dini Kanker Serviks dan Hak Perempuan Indonesia
Badan kesehatan dunia atau WHO menyatakan, bahwa hak untuk sehat adalah bagian dari hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia pun melindungi hak fundamental ini. Karena itu, selayaknya semua perempuan Indonesia mendapatkan perlindungan dan akses terhadap layanan kesehatan yang memungkinkan mereka hidup layak, sehat, dan bahagia.
Banyak halangan yang masih menjadi kendala bagi terpenuhinya hak-hak kesehatan perempuan Indonesia. Kita yang hidup di perkotaan mungkin masih sedikit lebih beruntung dalam hal akses dan fasilitas daripada saudari-saudari kita di daerah.
Namun ada satu hal yang masih menjadi momok bagi kesehatan reproduksi perempuan kita: konsep tabu dan malu.
Selama bekerja di daerah, saya sempat melakukan sosialisasi dan tes IVA pada perempuan-perempuan di sana. Kendala yang sangat sering terjadi adalah mereka merasa malu dan enggan – malu karena merasa akan “diobok-obok” atau buka-bukaan, malu karena tes ini berhubungan dengan kelamin.
Berbagi pengetahuan tentang kanker serviks dan pencegahannya masih terhalang oleh tabu. Bukan cuma untuk perempuan di daerah. Perempuan urban pun masih terjerat tabu yang sama, apalagi bagi mereka yang belum menyandang status menikah.
Rata-rata tenaga atau fasilitas kesehatan masih enggan menyediakan akses pemeriksaan pada perempuan lajang. Beberapa malah mengharuskan adanya persetujuan suami. Padahal realita kehidupan tidak membedakan antara perempuan yang menikah atau belum menikah, dan dunia kesehatan maupun pemerintah seharusnya mampu bersikap objektif dalam pemenuhan hak semua perempuan.
Menyelamatkan nyawa tidak semestinya diskriminatif.
Butuh upaya dari kita semua untuk saling mendukung dan menyebar informasi serta meningkatkan kesadaran bersama. Tidak ada satu perempuan pun di dunia ini yang layak menderita, siapa pun dia, apa pun statusnya, bagaimanapun pilihan hidupnya atau seksualitasnya.
Maka dari itu, jika Mama sudah membaca dan memahami pengetahuan tentang kanker serviks dan tes IVA ini, saya ingin mengajak Mama untuk menyebarkannya seluas-luasnya dan ikut memastikan sebanyak mungkin perempuan bisa mengaksesnya juga. Semakin banyak yang tahu dan peduli, semakin banyak nyawa bisa diselamatkan.
One life matters. One woman matters.
Yuk, Ma, saling bergandeng tangan, karena sesama perempuan sudah semestinya saling menguatkan!